Showing posts with label Opini Marketingku. Show all posts
Showing posts with label Opini Marketingku. Show all posts

Pengguna Internet Bali 2012

Pada 21 Mei – 20 Juni 2012 lalu, Sloka Insitute mengadakan survei online (dalam jaringan, daring) tentang Perilaku Pengguna Internet di Bali. Selama satu bulan, survei mendapatkan responden sebanyak 401 pengguna internet di Bali maupun dari Bali yang tinggal di luar Bali. Ada 35 pertanyaan yang secara umum terbagi menjadi tiga topik besar, yaitu profil pengguna internet, perilaku penggunaan internet, serta pola konsumsi dan persepsi terhadap media massa.

Psikologi Konsumen

Evaluasi selektif dan promosi, Setelah atau bersamaan dengan diperolehnya informasi suatu produk maka konsumen akan melakukan pemrosesan informasi untuk mengevaluasi alternatif yang ada dan memeilih satu atau beberapa alternatif terbaik. Pemrosesan informasi tergantung tingkat keterlibatan konsumen. Konsumen yang memiliki keterlibatan tingi akan secara aktif mencari informasi dan memprosesnya untuk dijaidkan dasar pengambilan keputusan. Pemrosesan informasi dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dari pengambilan keputusan yang akan dibuat. Adapun risiko yang mungkin muncul karena berbagai faktor berikut :
1. terdapat sedikit informasi mengenai kategori produk
2. produk adalah baru
3. produk secara teknologi adalah kompleks
4. konsumen mempunyai kepercayaan diri yang rendah dalam mengevaluasi merek
5. terdapat variasi kualitas di antara merek –merek produk yang ada
6. harga produk tinggi
7. produk yang dibeli adalah produk yang sangat penting bagi konsumen. Dalam evaluasi alternatif ini pada intinya konsumen akan memilih dari berbagai produk yang dapat memuaskan kebutuhannya. Konsumen akan melihat setiap produk merupakan suatu himpunan dari ciri dan sifat tertentu yang mempunyai manfaat kegunaan dari suatu produk. Dalam menetukan criteria evaluasi tidak lepas dari motivasi masing-masing. Motivasi yang berbeda akan menentukan kriteria evaluasi yang berbeda pula.
Kriteria Evaluasi
Kriteria evaluasi berisi dimensi atau atribut tertentu yang digunakan dalam menilai alternatif-alternatif pilihan. Kriteria alternatif dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya dalam membeli mobil seorang konsumen mungkin mempertimbangkan criteria, keselamatan, kenyamana, harga, merek, negara asal (country of origin) dan juga spek hedonik seperti gengsi, kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya. Beberapa criteria eveluasi yang umum adalah:
1. Harga. Harga menentukan pemilihan alternatif. Konsumen cenderung akan memilih aharga yang murah untuk suatu produk yang ia tahu spesifikasinya. Namun jika konsumen tidak bisa mengevaluasi kualitas produk maka harga merupakan indicator kualitas. Oleh karena itu strategi harga hendaknya disesuaikan dengan karakteristik produk.
2. Nama Merek. Merek terbukti menjadi determinan penting dalam pembelian obat. Nampaknya merek merupakan penganti dari mutu dan spesifikasi produk. Ketika konsumen sulit menilai criteria kualitas produk, kepercayaan pada merek lama yang sudah memiliki reputasi baik dapat mengurangi resiko kesalahan dalam pembelian.
3. Negara asal. Negara dimana suatu produk dihasilkan menjadi pertimbangan penting dikalangan konsumen. negara asal sering mencitrakan kualitas produk. Konsumen mungkin sudah tidak meraguakan lagi kualitas produk elektronik dari Jepan. Sementara, untuk jam tangan nampaknya jam tangan buatan Swiss meruapak produk yang handal tak teragukan.
4. Saliensi kriteria evaluasi. Konsep saliensi mencerminkan ide bahwa criteria evluasi kerap berbeda pengaruhnya untuk konsumen yang berbeda dan juga produk yang berbeda. Pada suatu produk mungkin seorang konsumen mempertimbangkan bahwa harga adalah hal yang penting, tetapi tidak untuk produk yang lain. Atribut yang mencook (salient) yang benar-benar mempengaruhi proses evaluasi disebut sebagai atribut determinan.
Menyeleksi Kaidah Keputusan
Proses terakhir dari evaluasi aternatif adalah pemilihan kaidah keputusan. Kaidah keputusan mengambarkan strategi yang digunakan konsumen untuk melakukan seleksi alternatif-alternatif pilihan. Kaidah keputusan berkisar dari prosedur yang sangan sederhana sampai pada hal yang sangat komplek yang memerloukan banyak waktu.
Jika pilihan mempakan kebiasaan, maka kaidah keputusannya sangat sederhana: beli merek yang sama dengan yang terakhir. Bahkan bila pilihannya bukan merupakan kebiasaan, konsumen mungkin menggunakan kaidah keputusan yang menyederhanakan seperti “beli yang termurah” atau “beli merek yang disukai pasangan saya.” Konsumen terus menerus membuat pertimbangan antara kualitas pilihan mereka dan jumlah waktu dan usaha yang dipeliukan untuk mencapai suatu keputusan. Dalam banyak kasus, konsumen akan mengikuti kaidah keputusan yang menghasilkan pilihan yang memuaskan sementara meminimumkan waktu dan usaha mereka. Kaidah keputusan yang menyederhanakan ini lebih mungkin terjadi untuk pilihan produk repetitif yang dipandang relatif rendah dalam hal kepentingan atau keterlibatan.
Disisi lain konsumen akan menggunakan kaidah keputusan yang lebih rumit atau kompleks yang memerlukan usaha pemrosesan yang lebih besar. Perbedaan fundamental di antara kaidah-kaidah yang lebih kompleks ini adalah apakah mereka melibatkan prosedur kompensasi versus non-kompensasi.
Kaidah Keputusan Nonkompensasi
Kaidah keputusan nonkompensasi dicirikan dengan kenyataan bahwa kelemahan pada satu atribut tidak dapat diimbangi oleh kekuatan pada atribut yang lain. Kaidah keputusan menyederhanakan yang dibahas sebelumnya merupakan contoh dari strategi nonkompensasi. Sebagai contoh, jika kaidah keputusannya adalah “beli yang termurah” maka suatu merek termurah akan dipilih tidak peduli betapa baik jelak atau baik kinerjanya kriteria evaluasi yang lain. Tiga jenis tambal kaidah nonkompensasi adalah leksikografik, penghapusan menurut aspek dan konjungtif.
Leksikografik. Dalam strategi keputusan ini, merek-merek, dibandingkan dalam hal atribut terpenting. Jika satu merek dipandang unggul berdasarkan atribut itu, maka merek tersebut dipilih. Jika dua merek atau lebih dirasa sama baiknya, keduanya pun dibandingkan berdasarkan atribut tingkat kedua. Proses ini berlanjut hingga keadaan tidak seri lagi.
Penghapusan menurut aspek. Kaidah ini sangat menyerupai prosedur leksikografik. Seperti sebelumnya, merek-merek lebih dahulu dievaluasi berdasarkan atribut yang terpenting. Akan tetapi, sekarang konsumen menerapkan pengisolasian. Sebagai contoh, konsumen mungkin menggunakan pengisolasian seperti “setidaknya harus bergizi.”
Jika hanya satu merek yang memenuhi pengisolasian pada atribut yang paling penting, maka merek itulah yang dipilih. Jika beberapa merek memenuhi pengisolasian itu, maka atribut terpenting berikutnya diseleksi dan proses pun berlanjut hingga keadaan seri berakhir. Jika tak satu pun merek dapat diterima, maka konsumen harus merevisi pengisolasiannya, menggunakan kaidah keputusan yang lain, atau menunda pilihan.
Dengan menggunakan gambaran pada tabel diatas, pilihan yang didasarkan pada penghapusan menurut aspek akan bergantung pada nilai pengisolasian tertentu yang dibebankan oleh pengambil keputusan. Andaikan saja nilai minimum yang dapat diterima untuk rasa dan harga “luar biasa baik” dan “sangat baik” secara berturutan. Merek A kembali akan dipilih, Akan tetapi, jika pengisolasian untuk rasa diturunkan menjadi “sangat baik” dan pengisolasian untuk harga dinaikkan menjadi ” luar biasa baik,” maka merek C akan dipilih.
Konjungtif. Pengisolasian juga memainkan peranan yang menonjol dalam kaidah keputusan konjungtif. Pengisolasian ditetapkan untuk masing- masing atribut yang mencolok. Masing-masing merek dibandingkan, satu demi satu, berdasarkan perangkat pengisolasian ini. Jadi, pemrosesan berdasarkan merek diperlukan. Jika merek memenuhi pengisolasian untuk semua atribut, maka merek itu pun dipilih. Kegagalan untuk memenuhi pengisolasian untuk atribut manapun menyebabkan penolakan. Seperti sebelumnya, jika tak satu pun merek memenuhi persyaratan pengisolasian, maka perubahan dalam pengisolasian atau kaidah keputusan harus dilakukan. Kalau tidak, pilihan harus ditangguhkan.
Untuk mengilustrasikan kaidah keputusan konjungtif, asumsikanlah bila konsumen berkeras agar merek bersangkutan menerima nilai setidaknya “baik” pada tiap atribut. Dalam Tabel diatas, merek A ditolak karena nilainya yang tidak memadai (yaitu, tidak memenuhi persyaratan pengisolasian “baik”) pada aroma, sementara merek C tidak memadai dalam hal gizi. Merek D dihapus karena nilai harga yang tidak memadai. Hanya merek B memenuhi semua persyaratan pengisolasian dan dengan begitu akah dievaluasi sebagai pilihan yang dapat diterima.
Kaidah Keputusan Kompensasi
Dalam kaidah keputusan kompensasi, kelemahan yang dirasakan pada satu atributdapat diimbangi atau dikompensasikan oleh kekuatan yang dirasakan pada atribut lain. Dua jenis kaidah kompensasi adalah penambahan sederhana dan penambahan tertimbang.
Penambahan sederhana. Dalam kaidah ini, konsumen hanya menghitung atau menambahkan berapa kali tiap altenatif dinilai secara menguntungkan dalam hal perangkat kriteria evaluasi yang mencolok. Alternatif yang memiliki jumlah terbesar atribut yang positif pun dipilih. Penelitian menunjukkan bahwa kaidah penambahan sederhana paling mungkin dilakukan bila motivasi atau kemampuan pemrosesan konsumen dibatasi.
Penambahan tertimbang. Bentuk yang jauh lebih komplek dari kaidah kompensasi adalah penambahan tertimbang. Konsumen sekarang terlibat dalam penilaian yang lebih halus mengenai kinerja alternatif-alternatif dibandingkan sekadar apakah kinerja itu menguntungkan atau tidak menguntungkan. Saliensi relatif dari kriteria evaluasi yang relevan juga digabungkan ke dalam kaidah keputusan.
Stategi Keputusan Bertahap
Strategi keputusan bertahap melibatkan pemakaian berurutan dari setidaknya dua kaidah keputusan yang berbeda sebagai sarana menanggulangi banyak alternatif pilihan. Strategi bertahap biasanya terdiri atas suatu proses dua tahap. Dalam tahap awal, satu jenis kaidah digunakan sebagai alat penyaring untuk membantu menyempitkan perangkat pilihan menjadi jumlah yang dapat lebih ditangani. Kaidah keputusan kedua kemudian diterapkan pada altematif- altematif yang tersedia untuk membuat pilihan akhir. Sebagai contoh, seorang konsumen yang dihadapkan dengan banyak sekali merek mungkin lebih dahulu menghapus merek-merek yang berada di atas harga tertentu dari daftamya. Merek- merek selebihnya kemudian akan dievaluasi berdasarkan jumlah atri-but-atribut yang mencolok.
Kaidah Keputusan Konstruktif
Banyak situasi pilihan yang dihadapi konsumen dapat ditangani hanya dengan memperoleh kembali kaidah keputusan yang tepat dari ingatan. Kaidah yang tersimpan lebih mungkin ada di dalam ingatan ketika konsumen mengakumulasi pengalaman dalam membuat pilihan seperti ini. Namun, dalam situasi lain (misalnya, pilihan yang baru atau tidak dikenal), konsumen mungkin merasa perlu menyusun kaidah keputusan mereka pada waktu melakukan pemilihan. Dengan kata lain, konsumen mengembangkan sebuah kaidah keputusan konstruktif dengan menggunakan operasi pemrosesan dasar (yaitu, “pecahan” dari kaidah-kaidah) yang tersedia di dalam ingatan yang dapat menampung situasi pilihan bersangkutan.
Perujukan Efek
Satu jenis khusus kaidah keputusan dikenal sebagai perujukan afek (affect referral). Kaidah ini mengasumsikan bahwa konsumen sebelumnya telah membentuk evaluasi menyeluruh mengenai tiap alternatif pilihan. Alternatif yang memiliki efek terting yang dipilih. Pada dasarnya, evaluasi meyeluruh berfungsi sebagai satu criteria evaluasi yang digunakan dlam pengambilan keputusan.

Perception vs Quality = Who will Win the Battle?


Persepsi, Hmm.. Persepsi itu seperti semacam bookmark dipikiran kita atas sesuatu yang kita lihat, rasakan atau pengalaman yang kita terima. Atau secara ilmiah bisa dilihat di wiki ini.
Quality, Nah ini secara arti banyak sekali, namun jika diambil yang sederhananya adalah sebuah kesesuaian antara yang diberikan dengan yang diharapkan. Dam secara ilmiahnya bisa dilihat di wiki ini.

Secara ideal, sebuah produk yang memiliki Kualitas yang bagus harusnya memiliki Persepsi yang bagus juga oleh consumer, begitu juga sebaliknya. Kenapa? Karena jika mereka puas dengan kualitas tersebut maka secara otomatis otak akan mem-bookmark pengalaman ini dengan produk tersebut. Namun ternyata secara realita tidak demikian. Kita bisa menemukan produk yang biasa-biasa saja tapi dipersepsi lebih berkualitas oleh consumer. Wow, Kenapa bisa begitu ya?

Okay kita coba lihat beberapa kejadian dibawah ini:
Saat awal-awal adanya tawaran untuk iklan komersial di TV, TVRI dengan “alasan” agar TV-TV swasta bisa hidup dengan baik, memilih tidak mengambil iklan namun mengambil iuran dari mereka. Kenapa TVRI bisa bicara seperti itu? Karena secara kualitas siaran, TVRI memiliki kualitas penerimaan yang baik dan jelas, kemudian secara coverage, TVRI meraih seluruh hampir seluruh pelosok Indonesia. Jadi diatas kertas, para pengiklan sudah pasti akan memilih TVRI untuk tempat beriklan. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Iklan lebih banyak berada di TV swasta yang punya banyak keterbatasan saat itu, mulai harus pasang decoder, penerimaan masih jelek hingga terbatasnya coverage sinyal. Aneh ya? (again) kenapa bisa begitu? Ternyata consumer mempersepsikan kualitas siaran TV Swasta lebih baik dari pada kualitas siaran TVRI. Hmmm…

Sekarang Kita lihat lagi case berikutnya, Aqua adalah brand air minum dalam kemasan pertama. Saat dilaunch pertama kali, hambatan terbesar mereka adalah harga sebotol Aqua hampir setara dengan 1 liter bensin. Dan saat itu kualitas air dirumah masih dipersepsi bagus oleh consumer serta terlebih lagi gratis untuk mendapatkannya. Apa yang dilakukan Aqua? Dia melakukan pembentukan persepsi yang baru akan kualitas air dengan membuktikan bahwa kualitas air Aqua itu sehat dan telah teruji secara klinis. Hasilnya? Orang mulai mempersepsikan kualitas Aqua = kualitas air sehat. Kalo mau minum sehat ya jangan masak air dirumah tapi beli Aqua.

Menarik bukan? Okay sekarang mari kita lihat lagi case ke 3 ini, Honda terkenal dengan Irit dan harga jualnya yang tinggi. Consumer mempersepsikan bahwa motor yang berkualitas seharusnya seperti Honda. Irit dan Harga Jualnya tinggi. Tak heran semua keluaran Honda di”lahap” abis oleh para rider. Namun, datanglah Yamaha yang mulai membangun persepsi bahwa motor berkualitas itu ga Cuma irit dan harga jual saja, tapi juga harus kencang. Moment ini didukung juga dengan prestasi global Yamaha yang sukses menjadi Juara Dunia GP 500 via Valentino Rossi. Ambassador ini memperkuat persepsi bahwa Yamaha itu kencang, dan irit itu semua motor sama, paling bedanya Cuma beberapa tetes 

What happening ya? Hmmm Ternyata persepsi Consumer akan kualitas itu sangat-sangat berbeda. Seperti defenisi diatas dimana kualitas itu tergantung apa yang menjadi Harapan yang diinginkan oleh customer.

Dalam Case TVRI, consumer mengharapkan bahwa TV yang berkualitas itu adalah yang punya Content siaran seperti yang mereka mau, sehingga walaupun secara technical quality TVRI itu diatas semuanya namun secara content perception, ternyata TVRI tidak berhasil memenuhi Harapan consumer. Resultnya Kualitas bagi Consumer adalah Persepsi atas content dari siaran.

Pada case Aqua, kualitas secara absolute berasal dari kualitas air itu sendiri. Dimana Aqua sukses membuktikan bahwa mayoritas air tanah itu tidak sebaik kualitas Aqua. Dan itu terbukti dari hasil klinis Aqua yang jernih dan tidak berbau. Secara technical, Kualitas air yang ditawarkan oleh Aqua mengalahkan persepsi yang menjadi kepercayaan masyarakat atas air tanah mereka.

Lain lagi kasus Honda vs Yamaha, Kemampuan Valentino Rossi yang berhasil menaklukkan kedigjayaan Honda di kancah GP 500, menjadi referensi bagi Consumer, sehingga saat Yamaha menjalankan Kampanye ttg motor itu harus kencang dan irit itu sudah semua motor punya. Kekuatan image dari Ambassador dan minimnya pembuktian secara nyata atas perbedaan tingkat ke iritan membuat persepsi kualitas consumer akan motor berubah dari hanya irit pindah pada factor kecepatan yang walau secara realita belum tentu hasilnya sama jika Rossi sudah tidak Yamaha lagi. Mungkinkah Yamaha masih bisa mengalahkan Honda?

Hmm.. Kualitas yang nyata ternyata belum tentu menjadi factor utama untuk menang dan Kekuatan akan persepsi yang sudah lama ternyata juga bisa digeser oleh kualitas yang nyata.

Challengenya adalah bagaimana meleverage Kualitas dan Persepsi sehingga bisa memenangkan persaingan. Pilih mana? Kualitas, Persepsi atau kedua-duanya?

Perception vs Quality = Who will Win the Battle?

Brand Management & Equity

Brand Management & Equity merupakan key success factor yang harus dicapai oleh setiap perusahaan yang tidak menginginkan produknya menjadi komoditas. Persepsi konsumen bukan terhadap suatu produk tetapi terhadap suatu merek. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk mengelola merek yang kita miliki dan menjadikannya sebagai brand equity.

Output :
• Memahami konsep dan implementasi brand management & equity
• Mampu mengevaluasi dan mengelola merek
• Mampu melakukan perencanaan media untuk brand equity
• Mampu melakukan perencanaan promosi untuk brand development
Outline :
• Cause & Effect model and Brand Score tool of Brand Equity
• Market strategy & planning framework process
• Category understanding
• Target & Brand Understanding
• Consumer Strategic platform: long term strategy, key brand growth drivers, brand essence and brand architecture, brand positioning
• Market Research process - Filling knowledge gaps
• Getting great advertising: advertising strategy, the 5 step evaluation process of advertising
• Media planning: principles of media leadership, media brief
• Promotion planning: objectives & strategies, promotion brief